Lompat ke konten
Beranda » Sejarah Tajwid dalam Al-Qur’an

Sejarah Tajwid dalam Al-Qur’an

Salatiga – Umat Islam mempelajari tajwid untuk membaca Al-Qur’an dengan baik, benar, dan sesuai kaidah. Kata tajwid berasal dari bahasa Arab جَوَّدَ – يُجَوِّدُ – تَجْوِيدًا yang berarti membaguskan atau membaca dengan indah. Ilmu ini berperan penting dalam menjaga kemurnian bacaan Al-Qur’an dari generasi ke generasi.

Rasulullah SAW Menyampaikan Tajwid Secara Langsung

Ketika wahyu pertama turun, Rasulullah menerima bacaan Al-Qur’an langsung dari malaikat Jibril dengan pelafalan yang sempurna. Nabi mengajarkan bacaan itu kepada para sahabat melalui metode talaqqi dan musyafahah (tatap muka). Dengan cara ini, para sahabat menirukan setiap huruf, panjang-pendek (mad), dan sifat huruf sesuai contoh Nabi.

Rasulullah membiasakan para sahabat membaca dengan tartil, sehingga mereka menjaga makhraj huruf dan hukum bacaan. Para sahabat seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit menjadi rujukan umat karena kemampuan membaca Al-Qur’an mereka yang sangat fasih.

Sahabat dan Tabi’in Menjaga Bacaan di Tengah Perbedaan Dialek

Ketika Islam menyebar ke luar Jazirah Arab, orang-orang non-Arab mulai memeluk Islam. Perbedaan bahasa dan logat membuat sebagian orang kesulitan melafalkan huruf Arab dengan benar. Untuk mencegah kesalahan bacaan, para sahabat mulai memberi tanda baca (harakat) dan titik (i’jam) pada mushaf.

Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 69 H) mengambil langkah penting dengan menambahkan tanda baca untuk mempermudah pembacaan. Usaha ini membantu umat Islam di berbagai wilayah menjaga bacaan Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.

Ulama Menyusun Kaidah Tajwid Secara Sistematis

Memasuki abad ke-2 hingga ke-4 Hijriah, para ulama mulai menulis kaidah tajwid secara sistematis. Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) memperkenalkan istilah-istilah teknis seperti idgham, ikhfa’, izhar, dan qalqalah.

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) menulis kitab berisi kaidah bacaan Al-Qur’an. Kemudian, Imam Ibn al-Jazari (w. 833 H) menyusun karya monumental Al-Muqaddimah al-Jazariyyah, yang hingga kini menjadi rujukan utama pelajar tajwid. Ibn al-Jazari menegaskan kewajiban membaca Al-Qur’an dengan tajwid, bahkan mengatakan bahwa orang yang mengabaikannya berdosa.

Umat Islam Mengembangkan Tajwid di Era Modern

Di masa kini, umat Islam mempelajari tajwid melalui madrasah, pesantren, kursus tahsin, hingga aplikasi digital. Guru-guru Al-Qur’an tetap mempertahankan metode talaqqi agar pembelajaran mengikuti sanad bacaan yang bersambung sampai Nabi Muhammad SAW.

Teknologi mempermudah penyebaran ilmu, tetapi umat Islam tetap memegang prinsip: belajar tajwid dari guru yang kompeten dan memiliki sanad yang sahih.

Tajwid Menjadi Benteng Kemurnian Al-Qur’an

Mempelajari tajwid berarti menghormati firman Allah dan menjaga maknanya. Kesalahan dalam panjang-pendek bacaan atau makhraj huruf bisa mengubah arti. Rasulullah mengingatkan umatnya:

“Bacalah Al-Qur’an dengan suara dan irama orang Arab. Janganlah membaca dengan irama dan suara orang fasik.” (HR. Bukhari)

Sejak zaman Rasulullah hingga sekarang, umat Islam terus menjaga tajwid. Dengan tajwid, bacaan Al-Qur’an tetap murni dan indah, persis seperti ketika Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *